Home » » Sedekahnya Seorang Istri

Sedekahnya Seorang Istri

Pada posting sebelumnya telah diuraikan sedekah timbal balik antara suami dan istri. Pada uraian tersebut, hubungan timbal-balik antara suami dan istri jika dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan semuanya akan bernilai sedekah. Pada posting kali ini, akan diuraikan sisi lain dari sedekahnya seorang istri. 

Zainab, istri Abdullah R.A., berkata, “…lalu Bilal datang menemui kami. Kami berkata, ‘Tolong tanyakan kepada Nabi SAW., apakah sah jika aku memberikan nafkah kepada suamiku dan anak-anak yatim yang ada dalam tanggunganku?
Tapi jangan diberitahukan beliau siapa kami!’. Lantas Bilal masuk untuk menyampaikan pertanyaan tersebut kepada Nabi SAW. Nabi SAW bertanya, “Siapa mereka?” Bilal menjawab, “Zainab” Nabi SAW. bertanya kembali, “Zainab yang mana ?” Bilal kembali menjawab, “Istri Abdullah.” Lalu Nabi SAW. berkata, “Ya, sah. Dia mendapat dua pahala, yaitu pahala kerabat dan pahala sedekah.” 

Bagi seorang istri yang bertujuan membantu meringankan beban suami, bekerja bukanlah masalah. Pada kalangan “wanita modern”, barangkali tujuan tersebut tersisip di antara beragam tujuan tersembunyi yang tak ingin diakuinya: eksistensi diri. Para istri yang benar-benar ingin bekerja untuk membantu menafkahi keluarga bisa melakukan pekerjaan dengan menjahit di rumah, mencucikan pakaian tetangga, atau memberikan les privat, dan sebagainya. Itu pun lahan kerja yang bisa mendatangkan rezeki yang halal dan baik.

Zaman sekarang, tidaklah menjadi tabu jika seorang istri bekerja mencari nafkah. Hanya saja, yang cukup menggelitik adalah ketika seorang istri memaknai hasil kerjanya dengan suatu istilah “Uangmu (suami) menjadi uangku dan uangku ya… tetap uangku.”Tentu saja, jika sudah demikian, tujuan ia bekerja patut dipertanyakan. Apakah ia benar-benar ingin bekerja sama dengan suami untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, atau sekadar mencukupi kebutuhannya sendiri? Tidak dipungkiri, meski barangkali hanya sekadar guyonan, ada juga yang memegang “prinsip” seperti itu. 

Namun, bisa juga dipahami jika ada kesepahaman bersama suami: bahwa istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Sedangkan kebutuhan lainnya dipenuhi melalui hasil kerja suami. Kisah Zainab di atas menunjukkan, ternyata Rasulullah SAW. pun tidak melarang wanita atau para istri bekerja untuk membantu menafkahi keluarga. Ketika suami tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarga dan tidak mampu lagi untuk mencari tambahan nafkah, maka istri bisa berperan membantunya. Tentu saja dengan keikhlasan semata. 

Namun, tentu ada sebuah catatan yang mesti digarisbawahi, yaitu jika istri berperan mencari nafkah untuk keluarga, maka bukan berarti ia pun berhak memimpin rumah tangganya. Itulah yang disebut dengan “sedekah” sang istri bagi suami & keluarganya. Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, “Suami dan anakmu adalah orang yang paling berhak untuk kamu beri sedekah” (HR Bukhari dan Muslim). 

Tentu saja, hal itu bukan berarti bekerja menjadi sebuah kewajiban bagi kaum wanita. Perjuangan seorang istri yang utama tentu saja menjaga amanah dari Allah SWT. berupa anak-anak yang harus dididiknya, juga amanah menjaga harta suaminya dan kehormatan dirinya. Jika kemudian ia harus ikut mencari nafkah, maka ia harus siap dengan konsekuensi lain, di antaranya perhatian dan konsentrasinya dalam mengurus rumahtangga jadi terganggu. 

Jika sudah demikian, suami harus bisa menyediakan seorang khadimat (pembantu) yang bisa membantu meringankan tugas-tugas istrinya di rumah. Asma binti Abu Bakar r.a. berkata, “Az-Zubair mengawiniku. Di bumi ini dia tidak memiliki harta, atau hamba, atau apa pun kecuali unta dan kudanya. Akulah yang memberi makan kudanya, menimba air, menjahit timba airnya yang terbuat dari kulit, serta membuat adonan… Aku juga biasa mengangkut biji kurma dari tanah Az-Zubair yang diserahkan kepadanya oleh Rasulullah SAW. di atas kepalaku. Tanah itu jauhnya kira-kira dua pertiga farsakh (2 mil)… hingga Abu Bakar R.A. mengirimkan seorang pelayan kepadaku setelah itu untuk menggantikanku mengurusi kuda. Dengan demikian, seolah-olah ia memerdekakanku” (HR Bukhari dan Muslim).

Konsekuensi lain, tentu saja ada biaya tambahan untuk membayar pembantu tersebut. Memang, harus disadari oleh para istri dan suami, bahwa setiap pilihan yang diambil selalu mengandung risiko. Tingkat kesiapan keduanya harus tetap bisa di pelihara. [sumber : MQMedia.com]
 
Support : Sholat Dhuha Kunci Rezeki | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Keajaiban Sedekah - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger